Syaifullah Yusuf, bersama KH Idris Hamid dalam sebuah acara di PP Salafiyah, Kota Pasuruan. |
PASURUAN – Kerusuhan berujung hilangnya sejumlah nyawa, yang terjadi beberapa waktu terakhir, terkait keberadaan Ahmadiyah, kian menjadi polemik dan menjadi perdebatan hangat, tentang perlunya tidaknya Ahmadiyah dibubarkan.
Di satu sisi sejumlah ulama dan kyai di Pasuruan, menegaskan bahwa pembubaran Ahmadiyah mutlak dilakukan oleh Negara, sementara disisi lain sebagian pihak menyatakan jika pemerintah membubarkan Ahmadiyah, maka Negara telah gagal dalam mengayomi dan menjamin hak-hak warga negara dalam keyakinan beragama.
Tuntutan pembubaran cukup keras diantaranya dilantangkan oleh KH Idris Hamid, Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah, Kota Pasuruan.
Menurut penilaian KH Idris Hamid, pemerintah selama ini sudah cukup bersikap lunak dan seharusnya mengambil langkah konkrit dengan melakukan pelarangan keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Pasalnya, yang dirasakan Umat Islam selama ini, Ahmadiyah semakin membawa mudharat bagi kalangan umat Islam di Indonesia.
“Persoalannya sudah sangat mendasar karena sudah termasuk penistaan Aqidah dan Tauhid Islam, dengan tidak mengakui Muhammad sebagai Nabi Umat Islam yang terakhir,” kata KH Idris Hamid, di sela-sela menerima kunjungan Wakil Gubernur Jawa Timur, Syaifullah Yusuf di Ponpes Salafiyah. Kamis (10/2).
Namun, pernyataan berbeda diungkapkan oleh Wilujeng Sudarto, salah satu anggota Forum Komunikasi Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (FKA GMNI) Pasuruan.
Ditegaskan bahwa tuntutan pembubaran Ahmadiyah tersebut tidak sesuai dengan hak-hak dasar warga Negara untuk secara bebas memilih kepercayaan maupun agama yang diyakini, seperti yang tertuang dalam undang-undang.
Tudingan adanya penistaan agama oleh Ahmadiyah terhadap Islam, dinilai tidak tepat karena sebuah keyakinan agama yang dianut seseorang maupun kelompok lain, tidak dapat dinilai dari dasar keyakinan pihak yang berbeda pandangan dan pemahaman.
Sehingga Negara atau pemerintah, oleh Wilujeng Sudarto diminta tidak perlu repot menanggapi desakan pembubaran Ahmadiyah meskipun dari kelompok mayoritas.
“Tidak adil kalau menilai agama yang dianut orang lain, didasarkan pada pemahaman dan keyakinan kita. Kekuatan mayoritas seharusnya melindungi dan menjamin keselamatan kelompok minoritas seperti Ahmadiyah,” urai Wilujeng Sudarto.
Jika pemerintah melakukan pembubaran terhadap keberadaan Ahmadiyah, maka hal itu dianggap sebagai hilangnya kekuasaan hak dan kebebasan warga untuk memilih agama dan keyakinannya. Dengan kata lain, pemerintah oleh Wilujeng telah gagal dalam menjamin hak-hak dasar warganya.
Namun, demikian keduanya sama-sama memahami jika menyelesaikan masalah dengan cara-cara kekerasan seperti yang terjadi di Pandegelang sepatutnya tidak terjadi.
Sementara itu, Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Timur, Syaifullah Yusuf enggan berpolemik tentang perlu tidaknya Ahmadiyah dibubarkan.
Gus Ipul, panggilan akrab Syaifullah Yusuf, meminta secara tegas kepada masyarakat, khususnya Umat Muslim Jawa Timur untuk tetap tenang dan tidak melakukan tindakan yang melawan hukum, dalam menyikapi keberadaan Ahmadiyah.
Sebagai salah satu antisipasi, pihaknya, setelah terjadinya tragedi Ahmadiyah berdarah di Pandeglang, Banten beberapa waktu lalu, telah melakukan kordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti Kepolisian dan TNI.
Pemerintah Jawa Timur juga telah melakukan komunikasi dengan sejumlah ulama dan kyai terkemuka di Jawa Timur agar terjalin ketentraman di tengah masyarakat.
Hal itu dilakukan sebagai upaya antisipasi agar tercipta suasana kondusif hingga tidak terjadi keresahan di tengah masyarakat.
“Jangan sekali-kali warga melakukan tindakan anarkis seperti di Pandeglang. Karena saya pastikan akan ditindak tegas aparat,” tegas Gus Ipul saat berada di Ponpes Salafiyah.
Pengikut Ahmadiyah juga dihimbau untuk tidak memancing-mancing masalah di tengah polemik yang saat ini kian memanas. tj
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih telah memberikan komentar pada tulisan ini...