Rabu, 02 Februari 2011

Mengintip Pengrajin Cobek Pasuruan


Pengrajin cobek, sibuk beraktifitas.
PASURUAN – Ada yang menarik jika jalan-jalan ke sebuah pemukiman di Dusun Pancen, Desa Petahunan, Kecamatan Gading Rejo, Kota Pasuruan. Hampir tiap sudut jalan, warga sekitar terlihat sibuk bekerja membuat cobek tanah liat.

Kesibukan tersebut karena di Dusun Pancen ini memang dikenal sebagai sentra industri kecil kerajinan cobek dan gerabah tanah liat di wilayah Kota Pasuruan.

Aktifitas semakin mencolok, terlebih karena cobek semakin dicari menjelang hari besar Islam, Maulid Nabi Muhammad SAW yang akan dirayakan dua pekan ke depan ini.

Momentum Maulid Nabi tetap memberikan berkah bagi pengrajin cobek, lantaran sampai saat ini cobek masih dijadikan tradisi oleh sebagaian besar umat Islam untuk digunakan sebagai wadah meletakkan buah maupun makanan lainnya saat perayaan berlangsung nanti.

Tiap-tiap cobek yang dihasilkan, sedianya dijual ke sejumlah tengkulak dengan harga sebesar Rp 700, meningkat dibanding pada hari-hari sebelumnya yang hanya senilai Rp 300 per cobek.

Tengkulak yang mengambil cobek di tempat ini biasanya berasal dari wilayah Pasuruan dan sebagian wilayah Lawang, Malang.

Jika pengrajin menjual sendiri ke pasaran secara eceran, harga cobek dikatakan semakin meningkat menjadi Rp 3.000 tiap cobek. Namun, menjual eceran dengan berkeliling ke sejumlah pasar jarang dilakukan karena dianggap lebih menghabiskan waktu dan biaya yang dikeluarkan juga bertambah tinggi.

Akan tetapi, bertambahnya penghasilan tersebut ditegaskan hanya didasarkan pada peningkatan harga semata, tanpa dibarengi dengan adanya peningkatan jumlah produksi. Karena seorang pengrajin tiap hari hanya mampu membuat cobek paling banyak 100 biji saja.

Hal tersebut dimungkinkan karena proses pembuatan cobek dilakukan dengan tangan, dibantu peralatan tradisional dan tidak ada mesin khusus secara modern yang mampu meningkatkan jumlah produksi.

Pola bekerja pengrajin cobek di Dusun ini tergolong cukup unik.

Sebelumnya beberapa pengrajin dalam satu kelompok berjumlah antara 10 hingga 15 pengrajin, mengumpulkan uang dengan besaran rupiah tertentu untuk dapat digunakan sebagai modal awal usaha.

Modal yang dikumpulkan tersebut selanjutnya digunakan untuk membeli bahan baku berupa tanah liat dan pasir halus, disesuaikan dengan ukuran dan kepentingan produksi.

Satu pickup tanah liat, dana bersama yang dikeluarkan sebesar Rp 70 ribu, sedangkan untuk satu pick up pasir halus seharga Rp 50 ribu.

Bahan baku tersebut diperoleh di seputar Pasuruan, khususnya di wilayah Desa Duyo, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan dan Desa Karang Asem, Kecamatan Gading Rejo, Kota Pasuruan.

Dari bahan baku tersebut lalu dibagikan sama rata kepada masing-masing pengrajin dalam kelompok, untuk selanjutnya diolah dan dibentuk menjadi cobek setengah jadi.

Setelah berhasil dikeringkan dengan dijemur dalam terik matahari, biasanya pengrajin mengeluarkan ongkos kembali untuk bahan bakar tungku api berupa kayu bakar dan jerami, serta adanya tambahan biaya untuk tenaga angkut ke lokasi tungku yang sebelumnya telah dipersiapkan dan dibangun di satu tempat terdekat secara swadaya.

Tungku pembakaran cobek Dusun Pancen berada di tiga titik dengan kapasitas tungku sebanyak 3.000 cobek. Berlokasi di rumah warga bernama Sumarni, Parto dan Dahlan. Dan tungku pembakaran tersebut sekaligus sebagai gambaran bahwa terdapat tiga kelompok sebaran pengrajin cobek Dusun Pancen.

Dengan ukuran satu pick up bahan baku tersebut, cobek yang berhasil dibuat diketahui tidak lebih dari 3.000 biji, dengan menghabiskan waktu pembuatan lebih dari 1 bulan.

Jika harga tiap cobek dihitung sebesar Rp 700, nilai rupiah yang dikumpulkan secara global diperkirakan hanya mencapai Rp 2 juta. Dari jumlah tersebut, setelah dikurangi keseluruhan biaya, penghasilan bersih yang diperoleh hanya separuh saja yakni sebesar Rp 1 juta.

Tidak diketahui secara pasti, kapan warga di Dusun Pancen menjadi ahli membuat cobek tanah liat. Warga hanya menjelaskan, bahwa keahlian ini diwariskan turun temurun oleh nenek buyut mereka sejak puluhan tahun silam.

Dari keterangan yang didapat, warga yang mau bertahan belepotan dengan tanah liat saat ini tidak lebih dari 40 orang, dan hampir semuanya perempuan dengan usia 35 tahun hingga 70 tahun. Jumlah ini menurun tajam dibanding pada 10 sampai 20 tahun lampau yang sebarannya mencapai lebih dari 300 pengrajin.

Hilangnya para pengrajin ini, lantaran para muda sekarang enggan meneruskan usaha cobek karena dianggap hasil yang diperoleh tidak menarik, tidak sebanding dengan biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan.

Namun, bagi mereka yang sudah ‘terjebak’ dan memiliki keahlian, usaha ini tetap menjadi pilihan meskipun sekarang sebagian besar usaha mereka bersifat sampingan.

Salah seorang pengrajin cobek, Sundari (35), ditemui di depan rumahnya, menuturkan bahwa aktifitas membuat cobek dimulai sejak ia masih berusia 15 tahun.

“Waktu kecil saya hanya membantu orang tua membuat cobek, hingga saat ini saya ganti meneruskan. Ya itung-itung menjaga tradisi orang tua,” ujar Sundari, saat beristirahat siang setelah membuat cobek.

Ia mengakui jika keahliannya ini dapat menambah penghasilan dan membantu suaminya yang sehari-hari sebagai tukang kayu di sebuah meubel di wilayah Bukir. Meskipun hasil yang diperoleh tidak sepadan dengan tenaga yang dikeluarkan.

Ungkapan senada juga diutarakan Sumarni (38), pengrajin cobek lainnya. Bahwa cobek yang selalu diidentikkan dengan Maulid Nabi ini, menjadi berkah tak ternilai, karena omset dan penghasilannya meningkat lipat dua kali dibanding hari-hari biasa.

Namun, secara polos Sumarni juga menuturkan selain kendala permodalan dan minimnya perhatian pemerintah, terutama juga adanya terjangan cobek terbuat dari plastik olahan pabrik yang menggempur pasar saat ini, telah menurunkan nilai jual cobek tanah liat.

“Waduh gimana ya, selama saya membuat cowek, pemerintah tidak pernah membantu saya,” ungkap Sumarni.

Sebagian masyarakat umum oleh Sumarni dianggap lebih memilih cobek berbahan plastik karena lebih praktis dan tidak mudah pecah.

Namun, Ia mewakili pengrajin cobek mempunyai keyakinan bahwa dengan terus membuat cobek berarti juga tetap menjaga nilai-nilai luhur budaya warisan nenek moyang.

Sementara itu, Moech. Arief Ilham, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Pasuruan mengakui bahwa pihaknya tidak dapat memberikan perhatian secara khusus terhadap perkembangan usaha mikro dan kecil seperti para pengajin cobek ini, karena program pengembangan sekarang ini tidak spesifik.

Selama ini, pemerintah hanya sebatas memberikan bantuan dalam bentuk pelatihan-pelatihan kepada pengrajin tanah liat secara umum. Seperti kepada pengrajin gerabah dan pengrajin tanah liat lainnya, agar dapat lebih meningkatkan produktifitas dan kualitas produk usaha tanah liat.

Bantuan permodalan, seperti yang dikeluhkan juga dijelaskan bukan lagi menjadi kewenangan Disperindag, karena saat ini kebijakan dan tanggung jawab beralih sepenuhnya ke pihak perbankan. Dalam hal ini Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur.

“Disperindag tidak ada anggaran untuk modal usaha, tidak seperti dulu. Sekarang kan ada kredit tanpa agunan, program Jamkrida (Jaminan Kredit Daerah) dari Propinsi melalui Bank Jatim,” papar Moech Arief Ilham, Kepala Disperindag Kota Pasuruan.

Namun, demikian pihaknya berjanji akan memberi prioritas kepada para pengrajin cobek dalam upaya pembinaan pengembangan meskipun bukan dalam bentuk saluran modal usaha. tj

2 komentar:

  1. Salam Bloger Pasuruan..
    ijin share di warungkopipasuruan.blogspot.com

    BalasHapus
  2. warungkopipasuruan.blogspot.com monggoooooo

    --- ngopine diwadahi cowek ta bro???---

    BalasHapus

terima kasih telah memberikan komentar pada tulisan ini...